MADRASAH DI BETAWI, MADRASAH UNTUK CALON ULAMA

Radio JIC / May 22, 2015

 Oleh: Rakhmad Zailani Kiki

Kepala Bidang Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

JIC – Madrasah di Betawi pernah menjadi tempat pendidikan yang mumpuni dalam mendidik murid-muridnya menjadi calon ulama. Pada masa pra kemerdekaan, Madrasah Jamiat Kheir  yang didirikan pada tanggal 17 Juni 1905 adalah salah satunya. Ulama Betawi yang pernah dididik di madrasah ini di antaranya adalah Syekh Dr. Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi (penulis Kitab Al-Imam As-Syafi’i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid) dan K.H. Abdul Manaf Mukhayyar (waqif dan pengasuh awal Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta Selatan). Pada masa itu,  murid-murid di Madrasah Jamiat Kheir  diajarkan bahasa Arab secara intensif yang guru-gurunya kebanyakan dari Timur Tengah dan di antaranya adalah ulama. Pada saat itu, Madrasah Jamiat Kheir termasuk sekolah unggulan karena para muridnya umumnya dari kalangan orang-orang Arab yang terpandang dan berada. K.H. Abdul Manaf adalah perkecualian. Meskipun ia bukan keturunan Arab, tetapi ia diterima dan belajar di sekolah yang di kemudian hari menjadi inspirasinya untuk mendirikan  Pondok Pesantren Darunnajah.

Selain itu, ada pula Madrasah Unwanul Falah, Kwitang yang didirikan oleh Habib Ali Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) pada tahun 1911. Murid-murid yang didik di madrasah ini kemudian menjadi ulama Betawi terkemuka, seperti KH. Abdullah Syafi`i, KH. Thohir Rohili, KH. Zayadi Muhadjir, KH. Ismailo Pendurenan, KH. Muhammad Naim Cipete,  KH. Fathullah Harun dan Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami. Lalu berdiri pula Madrasah Al-Ihsaniyah, di Salemba Tegalan, yang salah satu muridnya  kemudian menjadi ulama terkemuka dan bermukim di Malaysia, yaitu KH. Fathullah Harun.

Madrasah di tanah Betawi berkembang pesat setelah kemerdekaan yang kebanyakan didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi terkemuka. Seperti Madrasah Yayasan Raudhatul Muta’allimin yang dipimpin oleh KH. Abdurrazak Ma’mun, Madrasah As-Syafi`iyah yang didirikan oleh KH. Abdullah Syafi`i, Madrasah Ath-Thahiriyah yang didirikan oleh KH. Thohir Rohili, Madrasah Al-Wathoniyah yang didirikan oleh KH. Hasbiyallah dan kini memiliki lebih dari 60 cabang,  Madrasah Al-Khalidiyah yang didirikan oleh KH. Khalid Damat, Madrasah Manhalun Nasyi`in yang didirikan oleh KH. Abdul Hanan Said, dan lain-lain.

Khusus mengenai Madrasah As-Syafi`iyah, K.H. Saifuddin Amtsir, salah seorang ulama Betawi terkemuka saat ini yang merupakan alumni Madrasah As-Syafi`iyah, menceritakan kepada saya mengenai keunggulan madrasah ini di masanya. Setelah lulus dari Sekolah Dasar, K.H. Saifuddin Amsir melanjutkan pendidikannya di  Madrasah Tsanawiyah As-Syafi`iyah, Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. Pada masa itu, merupakan suatu prestasi besar bisa masuk Madrasah Tsanawiyah As-Syafi`iyah karena standarnya yang cukup tinggi sehingga sulit untuk bisa diterima. Bahkan tidak jarang ada siswa yang berasal dari madrasah tsanawiyah lain ketika pindah ke Madrasah Tsanawiyah As-Syafi`iyah harus turun kembali ke Madrasah Ibtidaiyah. Modal utama yang dimiliki beliau ketika itu adalah hafalan kitab aj-Jurumiyyah, kitab Matan Bina` wa al-Asas, dan  Rub`u al-`Ibadat dari kitab Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.

 Setelah masuk di Madrasah Tsanawiyah As-Syafi`iyah ini, banyak guru yang kagum dengan kemampuan K.H. Saifuddin Amsir dalam membaca dan memahami kitab-kitab sehingga dia pun mendapat prestasi dengan langsung naik kelas dua tingkat, dari kelas satu langsung naik ke kelas tiga, tidak melalui kelas dua dahulu. Dia juga sering menjadi ”penyelamat”  bagi seisi kelas, yaitu menyelematkan teman-temannya dari kemarahan KH. Abdullah Syafi`i (Pendiri dan Pimpinan Awal Perguruan Tinggi Islam As-Syafi’iyah)  yang sering sekali marah besar jika murid-muridnya tidak mampu membaca kitab dengan benar. Marahnya akan mereda apabila ada murid lain yang dapat menetralisir dengan membacanya dengan benar.

Selepas dari Madrasah Tsanawiyah, K.H. Saifuddin Amsir kemudian melanjutkan ke Madrasah Aliyah di perguruan yang sama, Madrasah Aliyah As-Syafi`iyah. Dia memang murid yang beprestasi sehingga pernah seorang guru memintanya membawa pulang kitab Kifayatul Akhyar milik guru tersebut. Maksudnya, agar dia membacanya di rumah; dan ketika pelajarannya nanti, dia yang membacanya sedangkan si guru hanya mendengarkannya. Bukan hanya kitab Kifayatul Akhyar saja, tetapi juga kitab-kitab lainnya, seperti kitab Syarah Alfiyah Ibnu Aqil. Dia sangat bersyukur dapat menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah As-Syafi`iyah karena di tempat inilah pengetahuan dan kemampuan bahasa Arabnya bertambah dan menjadi matang. Hal ini berkat jasa guru-gurunya yang diantaranya berasal dari Pesantren Gontor dan dari Mesir.

Setelah ditetapkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 1989 dan sejumlah peraturan yang mengikutinya, di mana madrasah didefinisikan sebagai “sekolah umum berciri khas agama Islam”, maka masa keemasan madrasah sebagai tempat pendidikan agama untuk mencetak calon ulama, khususnya di Betawi,  berakhir. Dikarenakan dengan definisi baru itu, madrasah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi kelembagaan, kurikulum, maupun guru. Dari segi kelembagaan, madrasah kini bukan lagi lembaga pendidikan agama, tetapi lembaga pendidikan umum dengan kedudukan sama dengan sekolah-sekolah lainnya ; dari segi kurikulum, madrasah mengajarkan materi yang sama dengan sekolah-sekolah umum yang lain ; dari segi guru, madrasah (diharapkan) memiliki guru dengan keahlian yang sama dengan sekolah-sekolah umum. Dengan persamaan-persamaan tersebut, praktis yang membedakan hanyalah embel-embel “ciri khas Islam” yang melekat di belakang madrasah. Imbasnya, tidak sedikit madrasah swasta yang tutup, bahkan ada pula madarash negeri yang kekurangan murid di Jakarta. Hal ini disebabkan turunnya minat orang tua untuk memasukan anaknya ke madrasah dengan pertimbangan bahwa madrasah telah menjadi institusi pendidikan yang gamang: jika ingin menjadikan anaknya sebagai ulama, lebih baik ke pondok pesantren dan tidak usah ke madrasah atau jika ingin anaknya berhasil dalam bidang umum, lebih baik ke sekolah umum dan tidak usah ke madrasah.  ***

Related Post



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *